Kamis, 26 Juni 2014

Islam Keturunan atau Keyakinan???

BISMILLAHIR RAHMAANIRRAHIIM

Part I
 ditulis oleh : Siti Nur Astuti

Ku langkahkan kaki menuju Masjid, Remaja seusiaku di komplek rumah memang rutin melakukan kegiatan mengaji. Namun, tidak semua Remaja disini mengikuti kegiatan tersebut. Mereka lebih menganggap ini kegiatan yang norak dan tidak mengenal pergaulan. Ya beginilah remaja zaman sekarang, karena pengaruh dari luar atau dari diri mereka.
Aku segera masuk Masjid, karena kegiatan mengaji sudah di mulai. Ternyata aku telat 5 menit, aku memang pemegang rekor untuk murid tertelat satu Masjid ini. Tidak heran lagi jika kemarin, hari ini atau besok aku telat. Ustadz dan teman teman sudah faham betul dengan sikapku, jadi tidak ada keanehan jika mengaji sudah di mulai aku baru datang. Aku langsung duduk dan berkumpul dengan remaja lain. Ku lihat yang mengaji hanya beberapa orang saja, mungkin mereka sedang sibuk dengan kegiatan luarnya dan tidak ada waktu untuk mengaji
“Iza?” suara Arina menggugahku dari lamunan
“eh iya” aku langsung menengok ke arah Arina
“tumben telat Cuma 5 menit? ” Sembari berbisik pelan
“em.. iya tadi aku..” tiba tiba Pak Ustadz menyambar pembicaraan aku dan Arina “ehem.. Iza, Rin... ngobrolin apa?”
“itu Pak Iza nanya ayat berapa” Arina berbohong
“ya sudah kita lanjutkan lagi mengajinya, ayo Za giliran kamu baca” Pak Ustadz memberikan intruksi yang pas, aku langsung gugup dan buyar..........................
“ayat yang ke...be..rapa Pak?” tanyaku gerogi
“hem, jadi dari tadi kamu tidak menyimak ?” Pak Ustadz menggelengkan kepala
DUG !
“ma...af Pak...” aku malu

Waktu menunjukan setengah 10. tapi aku masih saja bergulang guling di ranjang  tidur, Bahkan mata belum mampu memejam. aku memandangi foto kecilku di atas meja belajar, Terbayang semua kenakalan, ulah lucu, tawa dan tangisku ketika itu. Tidak terasa kini aku telah remaja, telah berbeda dari dulu. Aku terus mengingat ingat tingkah kecilku, kadang aku tersenyum kadang pula aku sedih. Singkat sekali perjalanan hidupku, bahkan aku sering berfikir siapkah aku untuk dewasa dan menyandang kriteria sudah baligh. Padahal aku sangat merasa kurang melakukan kegiatan yang di perintahkan Allah SWT, sering pula aku berfikir apakah benar Islam adalah keyakinanku? Namun, mengapa aku belum 100% menyempurnakan Islam di diriku ini.
“Za...” terdengar suara lirih Mama dari balik pintu, aku segera menghampiri dan membuka
“Iya Ma, Mah Iza enggak bisa tidur” aku memeluk Mama, karena itu suatu cara ampuh untuk menghilangkan masalah susah tidurku
“coba baca Al – Qur’an, insya Allah nanti Iza bisa tidur. Memangnya ada fikiran apa Za?” mama mengusap lembut pundakku
“Gak ada kok Mah, hanya saja...” aku memotong ucapanku
“Iza setiap masalah bukan suatu yang susah, masalah itu suatu yang mudah” Mama menghela nafas “mudah di selesaikan jika dengan jalan yang baik, dan selalu berdoa pada Allah” mama tersenyum
“tapi Mah ini bukan masalah” aku berjalan menuju ranjang  tidur
“terus?” Mama mengiringiku
“Mah kenapa agama kita Islam?” aku memandang tajam mata Mama
“karena Islam agama yang baik” jawab Mama
“bukannya Mama Islam sejak masih dalam kandungan nenek ?” tanyaku lagi
“em..” Mama terlihat mentok akan pertanyaanku ini “kenapa nanya gini Za? Kamu seharusnya sudah faham mengapa kita Islam” Mama duduk di pojokkan ranjang tidurku, mukanya memperllihatkan sesuatu yang dia rasa aneh dariku
“ya sudah Iza mau tidur yah... tuh udah jam 11” aku menunjukan jam hello kitty di atas meja tv di kamarku
“oke, Mama juga udah ngantuk. Nice dream ya nak” Mama mencium keningku, wah ini suasana yang jarang dilakukan mama sejak aku remaja. Aku merasa 6 tahun lebih muda dari usiaku sekarang
“yiah Mah” aku tersenyum bahagia
Mama berjalan keluar meninggalkan kamarku, terlihat wajahnya berseri penuh kebahagiaan. Entah bahagia karena aku atau karena apa. Mama sangat cantik, senyumnya tulus, ucapannya lembut, pantas untuk menjadi seorang Ibu yang teladan.
Suara adzan subuh berkumandang, aku segera mengambil air wudhu dan shalat bersama Mama dan Kakakku. Kita tinggal berempat satu rumah, aku, mama, papa, dan kakak. Tapi, bulan ini papa sedang berada di luar kota, itulah pekerjaan papa. Jarang berkumpul keluarga, jarang pula melakukan shalat berjamaah.
“heh Za!” sentak Kakak sembari memainkan kerah di lehernya
“naon a?” jawabku menyiutkan kening
“Awas ih kakak dulu, dingin nih..” kakak refleks memegang kran dan menyurungku dengan pundaknya
“hii... kakak..” aku melangkahkan kaki kebelakang, menghindari keusilan kakak yang berikutnya. Memang seperti inilah timbal balik antara aku dan kakak, sangat jarang untuk akur dan saling tatap muka untuk berbicara. Bahkan makanpun kita sering ribut dan pastinya aku yang selalu kalah, bukan kalah. Tapi aku mengalah demi kakak cowok yang satu satunya ini, karena dia yang menjadi imam shalat ketika Papa tidak ada.
“Kak bisa gak sih ke Iza tuh gak galak gini, tau tau kalo kakak tu calon jenderal nya, calon eta meuren nya .. naon yah, eh yah TNI . apa polisi? Polisi angkatan rumah” aku berbicara sendiri sembari melirik kakak
“berisik luh, wudhu wudhu jangan cerewet. Hiiii ....” kakak menyipratkan air ke mukaku “nih buat kamu, bawel sih. Awas awas ah kakak mau lewat” kakak mendorong dorong kecil pundakku dengan pundaknya
“kakak ih.................. ba.......................sahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh tauuuuuuuu..... nih nih nih......” aku menyiprat balik ke tubuh kakak, kakak lari lari kecil sambil meledekku
“Fariz kamu sudah gede, kapan berubahnya sih. Ngeledekin adikmu terus, ada apanya sih” terdengar mama memarahi Kak Fariz.
Usai shalat aku sering duduk di depan kolam ikan, berbicara dengan hati dan fikiran. Aku sering tidak peduli pada keadaan sekitar, anehnya aku sering memikirkan. Contohnya ikan, apa ikan tidak shalat, dia punya kegiatan yang sama enggak yah ama manusia, apa ikan bisa tau aku lagi mikirin dia. Kan aneh.. kalau pertanyaan pertanyaanku ini aku lontarkan ke Kakak, pasti dia bakalan ngambil ikan terus di ajak ketawa bareng. Memang mungkin benar dari kecil aku tuh aneh, selalu mikirin hal yang bodoh dan gak penting gak kayak pekerjaan Papa. Kata Kak Fariz, aku itu anak putih abu yang berotak playgroup. Masa sih segitunya aku ini, aku sakit hati ah. Kak Fariz suka memperlakukan aku layaknya anak kecil, bahkan bayi. Padahal aku dah gede, dia juga sering bilang aku bodoh banget, otak udang, kadang pula otak kerang, parahnya lagi otak plangton. Dia nggak tahu sih aku tuh kan pintar, dan gak berotak yang seperti Kak Fariz sebutin itu. Mungkin karena pertanyaan konyol dan kelakuan aneh yang sering aku perlihatkan ke dia, jadi begini deh. Adik satu satunya di bilang ini itu.
“hei, are you ok?” kak Fariz mengusap kepalaku
“sok sokan pake bahasa inggris” jawabku datar
“hehe.. damai yuk dek” Kak Fariz memandangku
“hem iyah..” aku tersenyum lega, akhirnya aku bisa menamatkan pertempuran ringan dengan Kakak
“dek, doain kakak yah.. besok kakak wisuda” kakak menepuk pundakku dan berdiri meninggalkanku
“hah.. wisuda?” aku kaget, gak nyangka yah kakak aku dah mau wisuda. Berarti bentar lagi dia kerja, terus nikah, punya anak dong. Pantas saja dia ngajak damai
“iza..... kamu belum pake seragam sekolah juga, ayo cepat sekolah nak” suara mama menyuruhku sekolah mengingatkanku pada PR dan ulangan Matematika hari ini
“masyaallah PR, Ya Allah ulangannn, subhanallah pingsann pingsann” aku berlari menuju kamar dan segera mandi lalu mengerjakan PR dan berangkat sekolah
 

2 komentar: