BISMILLAHIR RAHMAANIRRAHIIM
Part I
ditulis oleh : Siti Nur Astuti
Part I
ditulis oleh : Siti Nur Astuti
Ku langkahkan kaki
menuju Masjid, Remaja seusiaku di komplek rumah memang rutin melakukan kegiatan
mengaji. Namun, tidak semua Remaja disini mengikuti kegiatan tersebut. Mereka
lebih menganggap ini kegiatan yang norak dan tidak mengenal pergaulan. Ya
beginilah remaja zaman sekarang, karena pengaruh dari luar atau dari diri
mereka.
Aku segera masuk
Masjid, karena kegiatan mengaji sudah di mulai. Ternyata aku telat 5 menit, aku
memang pemegang rekor untuk murid tertelat satu Masjid ini. Tidak heran lagi
jika kemarin, hari ini atau besok aku telat. Ustadz dan teman teman sudah faham
betul dengan sikapku, jadi tidak ada keanehan jika mengaji sudah di mulai aku
baru datang. Aku langsung duduk dan berkumpul dengan remaja lain. Ku lihat yang
mengaji hanya beberapa orang saja, mungkin mereka sedang sibuk dengan kegiatan
luarnya dan tidak ada waktu untuk mengaji
“Iza?” suara Arina
menggugahku dari lamunan
“eh iya” aku
langsung menengok ke arah Arina
“tumben telat Cuma
5 menit? ” Sembari berbisik pelan
“em.. iya tadi
aku..” tiba tiba Pak Ustadz menyambar pembicaraan aku dan Arina “ehem.. Iza,
Rin... ngobrolin apa?”
“itu Pak Iza nanya
ayat berapa” Arina berbohong
“ya sudah kita
lanjutkan lagi mengajinya, ayo Za giliran kamu baca” Pak Ustadz memberikan
intruksi yang pas, aku langsung gugup dan buyar..........................
“ayat yang
ke...be..rapa Pak?” tanyaku gerogi
“hem, jadi dari
tadi kamu tidak menyimak ?” Pak Ustadz menggelengkan kepala
DUG !
“ma...af Pak...” aku malu
Waktu menunjukan
setengah 10. tapi aku masih saja bergulang guling di ranjang tidur, Bahkan mata belum mampu memejam. aku
memandangi foto kecilku di atas meja belajar, Terbayang semua kenakalan, ulah
lucu, tawa dan tangisku ketika itu. Tidak terasa kini aku telah remaja, telah
berbeda dari dulu. Aku terus mengingat ingat tingkah kecilku, kadang aku
tersenyum kadang pula aku sedih. Singkat sekali perjalanan hidupku, bahkan aku
sering berfikir siapkah aku untuk dewasa dan menyandang kriteria sudah baligh.
Padahal aku sangat merasa kurang melakukan kegiatan yang di perintahkan Allah
SWT, sering pula aku berfikir apakah benar Islam adalah keyakinanku? Namun,
mengapa aku belum 100% menyempurnakan Islam di diriku ini.
“Za...” terdengar
suara lirih Mama dari balik pintu, aku segera menghampiri dan membuka
“Iya Ma, Mah Iza
enggak bisa tidur” aku memeluk Mama, karena itu suatu cara ampuh untuk
menghilangkan masalah susah tidurku
“coba baca Al –
Qur’an, insya Allah nanti Iza bisa tidur. Memangnya ada fikiran apa Za?” mama mengusap
lembut pundakku
“Gak ada kok Mah,
hanya saja...” aku memotong ucapanku
“Iza setiap masalah
bukan suatu yang susah, masalah itu suatu yang mudah” Mama menghela nafas
“mudah di selesaikan jika dengan jalan yang baik, dan selalu berdoa pada Allah”
mama tersenyum
“tapi Mah ini bukan
masalah” aku berjalan menuju ranjang
tidur
“terus?” Mama
mengiringiku
“Mah kenapa agama
kita Islam?” aku memandang tajam mata Mama
“karena Islam agama
yang baik” jawab Mama
“bukannya Mama
Islam sejak masih dalam kandungan nenek ?” tanyaku lagi
“em..” Mama
terlihat mentok akan pertanyaanku ini “kenapa nanya gini Za? Kamu seharusnya
sudah faham mengapa kita Islam” Mama duduk di pojokkan ranjang tidurku, mukanya
memperllihatkan sesuatu yang dia rasa aneh dariku
“ya sudah Iza mau
tidur yah... tuh udah jam 11” aku menunjukan jam hello kitty di atas meja tv di
kamarku
“oke, Mama juga
udah ngantuk. Nice dream ya nak” Mama mencium keningku, wah ini suasana yang
jarang dilakukan mama sejak aku remaja. Aku merasa 6 tahun lebih muda dari
usiaku sekarang
“yiah Mah” aku
tersenyum bahagia
Mama berjalan keluar meninggalkan kamarku, terlihat wajahnya berseri
penuh kebahagiaan. Entah bahagia karena aku atau karena apa. Mama sangat
cantik, senyumnya tulus, ucapannya lembut, pantas untuk menjadi seorang Ibu
yang teladan.
Suara adzan subuh
berkumandang, aku segera mengambil air wudhu dan shalat bersama Mama dan
Kakakku. Kita tinggal berempat satu rumah, aku, mama, papa, dan kakak. Tapi,
bulan ini papa sedang berada di luar kota, itulah pekerjaan papa. Jarang
berkumpul keluarga, jarang pula melakukan shalat berjamaah.
“heh Za!” sentak
Kakak sembari memainkan kerah di lehernya
“naon a?” jawabku
menyiutkan kening
“Awas ih kakak
dulu, dingin nih..” kakak refleks memegang kran dan menyurungku dengan pundaknya
“hii... kakak..”
aku melangkahkan kaki kebelakang, menghindari keusilan kakak yang berikutnya.
Memang seperti inilah timbal balik antara aku dan kakak, sangat jarang untuk
akur dan saling tatap muka untuk berbicara. Bahkan makanpun kita sering ribut
dan pastinya aku yang selalu kalah, bukan kalah. Tapi aku mengalah demi kakak
cowok yang satu satunya ini, karena dia yang menjadi imam shalat ketika Papa
tidak ada.
“Kak bisa gak sih
ke Iza tuh gak galak gini, tau tau kalo kakak tu calon jenderal nya, calon eta
meuren nya .. naon yah, eh yah TNI . apa polisi? Polisi angkatan rumah” aku
berbicara sendiri sembari melirik kakak
“berisik luh, wudhu
wudhu jangan cerewet. Hiiii ....” kakak menyipratkan air ke mukaku “nih buat
kamu, bawel sih. Awas awas ah kakak mau lewat” kakak mendorong dorong kecil
pundakku dengan pundaknya
“kakak
ih.................. ba.......................sahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh
tauuuuuuuu..... nih nih nih......” aku menyiprat balik ke tubuh kakak, kakak
lari lari kecil sambil meledekku
“Fariz kamu sudah
gede, kapan berubahnya sih. Ngeledekin adikmu terus, ada apanya sih” terdengar
mama memarahi Kak Fariz.
Usai shalat aku
sering duduk di depan kolam ikan, berbicara dengan hati dan fikiran. Aku sering
tidak peduli pada keadaan sekitar, anehnya aku sering memikirkan. Contohnya
ikan, apa ikan tidak shalat, dia punya kegiatan yang sama enggak yah ama
manusia, apa ikan bisa tau aku lagi mikirin dia. Kan aneh.. kalau pertanyaan
pertanyaanku ini aku lontarkan ke Kakak, pasti dia bakalan ngambil ikan terus
di ajak ketawa bareng. Memang mungkin benar dari kecil aku tuh aneh, selalu
mikirin hal yang bodoh dan gak penting gak kayak pekerjaan Papa. Kata Kak
Fariz, aku itu anak putih abu yang berotak playgroup. Masa sih segitunya aku
ini, aku sakit hati ah. Kak Fariz suka memperlakukan aku layaknya anak kecil,
bahkan bayi. Padahal aku dah gede, dia juga sering bilang aku bodoh banget,
otak udang, kadang pula otak kerang, parahnya lagi otak plangton. Dia nggak
tahu sih aku tuh kan pintar, dan gak berotak yang seperti Kak Fariz sebutin
itu. Mungkin karena pertanyaan konyol dan kelakuan aneh yang sering aku
perlihatkan ke dia, jadi begini deh. Adik satu satunya di bilang ini itu.
“hei, are you ok?”
kak Fariz mengusap kepalaku
“sok sokan pake
bahasa inggris” jawabku datar
“hehe.. damai yuk
dek” Kak Fariz memandangku
“hem iyah..” aku
tersenyum lega, akhirnya aku bisa menamatkan pertempuran ringan dengan Kakak
“dek, doain kakak
yah.. besok kakak wisuda” kakak menepuk pundakku dan berdiri meninggalkanku
“hah.. wisuda?” aku
kaget, gak nyangka yah kakak aku dah mau wisuda. Berarti bentar lagi dia kerja,
terus nikah, punya anak dong. Pantas saja dia ngajak damai
“iza..... kamu
belum pake seragam sekolah juga, ayo cepat sekolah nak” suara mama menyuruhku
sekolah mengingatkanku pada PR dan ulangan Matematika hari ini
“masyaallah PR, Ya
Allah ulangannn, subhanallah pingsann pingsann” aku berlari menuju kamar dan
segera mandi lalu mengerjakan PR dan berangkat sekolah
bagus critanya,
BalasHapuspernah ngalamin kejadian yg sama dengan di crita
makasih atas comment nya...
BalasHapus